Maaf, post kali ini ditulis dalam bahasa Indonesia (semiformal -> tidak formal sama sekali)
Sedang marak di negara tercinta isu-isu tentang tes keperawanan sebelum masuk sekolah. Dari link ini: www.jurnalperempuan.org diceritakan bahwa seorang gadis mengikuti tes keperawanan sebelum masuk ke sekolah militer. Tes tersebut dipraktekkan oleh seorang yang kemungkinan bukan dokter atau tenaga ahli. Lebih parah lagi, metode tes keperawanan yang dilakukan sangat sangat minim; hanya dengan memasukkan dua jari ke area privat wanita untuk mengecek apakah selaput dara sang siswi masih utuh.
Sebagai seorang perempuan, jujur, saya merasa direndahkan. Walaupun saya hanya membaca berita tersebut, saya merasa sangat sedih dan marah.
Hal pertama yang harus diketahui seluruh umat manusia adalah: selaput dara bukan parameter keperawanan wanita. Faktanya, tidak semua perempuan dilahirkan dengan selaput dara. Jadi, yang mempermasalahkan selaput dara pada wanita bisa dibilang tidak pernah belajar biologi. Ini mempertegas argumen bahwa selaput dara bukan parameter keperawanan seseorang.
Selaput dara juga bukan hanya satu jenis. Beberapa jenis selaput dara mempunyai lubang sejak awal. Hanya karena selaput dara seseorang memiliki lubang, bukan berarti dia sudah tidak perawan. Dan lagi, rusaknya selaput dara sangat mungkin disebabkan oleh hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan aktifitas seksual. Jadi, sekali lagi selaput dara bukan hal yang perlu dipermasalahkan dan dihubungkan dengan keperawanan.
Terlepas dari itu semua, kenapa institusi harus mengucilkan wanita-wanita yang "tidak punya selaput dara"? Kenapa keperawanan harus dijadikan faktor penentu kesuksesan wanita? Apakah kemampuan otak sudah tidak penting lagi? Apa jadinya kalau ada perempuan yang secara paksa direnggut kesuciannya saat masih muda. Apakah itu salah sang perempuan? Bukan. Apakah hanya karena hal tersebut dia tidak layak lagi berusaha mengembalikan hidupnya dan merubah nasibnya menjadi lebih baik?
Kalau memang hukum tes keperawanan secara paksa akan ditegakkan, kenapa tes tersebut hanya berlaku untuk wanita? Kenapa laki-laki yang sudah tidak perawan tidak dikategorikan sebagai "yang tercela"?
Bisa dibayangkan betapa malunya para wanita yang harus merelakan diri untuk dicek "keperawanannya". Betapa berat beban sosial yang harus dihadapi jika orang lain tau bahwa hasilnya menunjukkan bahwa dia sudah tidak perawan padahal kenyataannya dia masih suci. Apalagi dihadapkan dengan orang-orang zaman sekarang yang mudah termakan isu-isu dan gosip.
Kenapa harus menghambat pendidikan dari orang-orang yang pantas dengan tes-tes yang tidak penting? Bukankah anak-anak muda berilmu cemerlang dan berakhlak baik lebih krusial untuk perkembangan negara?
No comments:
Post a Comment