Bukan cuma sekali gue jalan di tempat-tempat umum di Jakarta/Bekasi dan melihat beratus-ratus peralatan sekolah, baju, mainan, dan benda-benda lain bergambar karakter-karakternya dijual dimana-mana. Sedihnya lagi, seringkali gue ketemu anak kecil yang berbicara seperti tokoh kartun yang satu ini. Nak, kamu tinggal dimana?
Pertanyaannya sekarang, kenapa sampai bisa seterkenal dan meracun seperti ini? Kemana tontonan anak-anak yang berkualitas dari dalam negeri? Apakah kualitasnya sudah sebegitu menurunnya, ya? Sampai-sampai harus impor acara televisi...
Padahal Si Unyil masih ada di televisi. Tapi Si Unyil kali ini terlalu banyak jalan-jalan, ke pabrik ini-itu lihat proses pembuatan ini-itu. Ini bukan hal yang salah karena fitur Si Unyil jalan-jalan juga menambah wawasan. Tapi dulu, Si Unyil dan teman-temannya juga mengajarkan pesan moral untuk anak-anak. Bisa dibilang lebih membaur dengan otak cilik kita dahulu, dengan keisengannya ke Pak Raden, dan segala macam pelajaran hidup lainnya...
Belum lagi anak-anak SD yang bertingkah seperti orang dewasa. Bukan sekali loh ibu gue nunjukkin facebook anak temen-temennya yang berisi status penuh drama dan cinta-cintaan. Mengutip status salah satu anak SD:
"Aku tak bisa melupakannya demikian juga akupun selalu setia meskipun dia banyak yang suka"Gue jujur ngga tau ini dari lagu atau bukan. Dari lagu pun, anak SD kelas tiga harusnya belum ngerti yang begini-begini. Dulu waktu kelas 3 SD, gue masih main congklak, lari-larian, main bola gawang sendal, main sepeda muter-muter kompleks, dan segala macem. Yang namanya anak kelas 3 SD pacaran itu bisa dihitung pakai jari tangan. Bahkan ada yang masih ngga tau pacaran itu harusnya ngapain.
Sekarang? Anak kelas 3 SD yang nggak pacaran yang bisa dihitung pakai jari mungkin. Lagu-lagu yang dinyanyiin anak kecil juga temanya ga pernah jauh dari cinta-cintaan. Dulu waktu gue kelas 3 SD, lagu cinta-cintaan yang gue denger dinyanyiin sama orang tua, jadi walaupun gue nyanyi-nyanyi lagu cinta, karena yang nyanyi orang udah tua-tua ya sebodo amat sama artinya. Toh, yang nyanyi bukan anak seumuran gue kan, jadi gue ga perlu ngerti apa itu cinta-cintaan.
Grup vokal anak-anak-baru-mulai-beranjak-remaja aja udah mulai ngomongin, "Mungkin inilah rasanya cinta pada pandangan pertama, sejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa." Untungnya waktu gue SD nomer yang bakalan ditanya adalah nomer telepon rumah. Dan facebook? Apa itu facebook? Komputer aja cuman bisa mainan Paint. Apalagi itu cinta pada pandangan pertama?
Tapi mungkin memang zamannya beda, zamannya semakin maju, semuanya otomatis berubah. Mungkin karena dulu teknologinya terbatas, jarak antara yang muda dan yang tua terlihat jelas. Mungkin guenya yang ketinggalan zaman dan kurang gaul. Mungkin hal-hal yang dilakukan anak-anak zaman sekarang ini normal. Mungkin mereka melakukan semuanya juga karena akses tidak terbatas yang mereka dapat untuk mencari apapun yang mau mereka cari.
Mungkin masa kecil gue bukan masa kecil mereka...
No comments:
Post a Comment